Oleh: Rahmat Hidayat Nasution. *)
Pasca
Presiden Jokowi mengumumkan pada hari Minggu (26/10) lalu bahwa yang
menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Kabinet Kerja adalah Anies
Baswedan. Penulis langsung teringat akan nasib sertifikasi guru, akankah
tetap ada atau bakal berubah nama? Pasalnya, Anies terkenal sebagai
tokoh yang mendukung gerakan pendidikan berkarakter lewat gerakan turun
tangan. Gerakan pendidikan yang tidak mengedepankan pengumpulan
portofolio tapi nihil produk pendidikannya.Pendidikan karakter sendiri saat ini masih dalam bentuk slogan, belum begitu tampak wujudnya. Karena, eksistensi sertifikasi guru selama ini belum banyak mengarah kepada pendidikan karakter. Malah, kecenderungannya lebih mengarah pada konsep portofolio. Guru hanya sibuk menghitung bulan penerimaan sertifikasinya ketimbang memikirkan produk apa yang dihasilkannya agar menciptakan anak didik menjadi kreatif. Padahal, pembentukan karakter dan kepribadian siswa seutuhnya adalah jalan yang menentukan bagi keberlangsungan kehidupan bangsa.
Bila pendidikan karakter yang menjadi point of view, seharusnya program sertifikasi guru yang berlangsung saat ini layak untuk ‘ditangguhkan’ (untuk tidak mengatakan supaya dihapuskan). Pasalnya, penulis menyaksikan sendiri bahwa program sertifikasi yang berlangsung saat ini di lapangan hanya sibuk dalam hal urusan portofolio saja. Sibuk dalam hal urusan pemberkasan atau proses administrasi, bukan sibuk dalam kekreatifan guru melahirkan proses mengajar dan mendidik yang relevan dengan masa kini.
Padahal, hakikat keberadaan sertifikasi guru adalah, bagaimana kemampuan guru mengembangkan kreatifitasnya sehingga menjadikan pengajaran yang dilakukannya berjalan dengan baik dan proses pentransferan ilmu yang diberikan kepada peserta didik dapat diterima dengan mudah dan baik. Realita yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Para guru hanya sibuk mencari 24 jam mengajar per minggu untuk memenuhi standar waktu yang ditetapkan bagi guru penerima tunjangan sertifikasi.
Sejatinya, yang berhak mendapatkan sertifikasi hanyalah guru yang kreatif, produktif dan inovatif. Guru yang mampu menghasilkan media pembelajaran yang dipakai dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan mampu mengajar dengan metode-metode pembelajaran yang ada, karena di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tercantum media dan metode apa yang digunakan dalam pengajaran yang dilakukannya.
Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari?
Jika guru saja melakukan ketidakjujuran dengan memberikan keterangan fiktif di dalam RPP, maka bagaimana mungkin pendidikan karakter bisa ditanamkan pada peserta didik? Tak mengherankan bila pendidikan karakter yang didengung-dengungkan belum dapat dikatakan berhasil, karena yang terjadi adalah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru tidak bisa mencontohkan kejujuran, bagaimana murid bisa jujur? Ketika guru tidak bisa bertanggungjawab terhadap profesinya, bagaimana peserta didik bisa bertanggungjawab pada dirinya?
Sehingga menimbulkan pertanyaan, sudahkah para guru yang bersertifikasi memiliki jiwa tenaga pendidik yang berkarakter? Jika guru belum memiliki karakter pendidik yang baik, maka akan menimbulkan akibat-akibat negatif yang berantai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena, ketika pendidikan karakter yang baik di waktu sekarang, bukan saja akan memperbaiki kehidupan dan masyarakat kita sekarang saja, tetapi juga akan menjadi landasan yang baik dan teguh untuk generasi-generasi kita yang akan datang.
Makanya, di dalam buku “Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan” yang ditulis oleh Mohammad Mustari, Ph.D dijelaskan ada 25 kurikulum atau ikrar pendidikan karakter. Ikrar tersebut bukan saja diajarkan kepada siswa, tapi juga harus diperankan oleh guru agar dapat ditiru oleh peserta didik.
Bila guru yang sudah mendapatkan sertifikasi lalu tidak menjalankan tanggungjawabnya dengan baik, bagaimana mungkin bisa mengajarkan pendidikan tanggungjawab kepada anak didik? Bila guru masih mau memanipulasi jam mengajar, bagaimana pula mengajarkan kejujuran kepada peserta didik? Bila guru tidak mampu membuat media pengajaran yang baik dan masih bertahan dengan cara mengajar yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, bagaimana menjadikan peserta didik memiliki karakter yang berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif?
Meramal Nasib Sertifikasi Guru
Semoga dengan terpilihnya Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan adanya perubahan formula sertifikasi guru yang ada selama ini. Jika saat ini sibuk dengan urusan portofolio, hendaknya berubah pada formula produk pengajaran, baik lewat media pengajaran yang diciptakan sendiri atau minimal siap melakukan penelitian tindakan kelas.
Bahkan, bila perlu Anies Baswedan mau mengikuti apa yang pernah diwacanakan Plt Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) ihwal pemberian tunjangan profesi guru yang tepat, bukan sertifikasi guru. (Analisa, 14 Agustus 2014) Menurut Ahok, tujungan profesi guru adalah suatu terobosan yang baik dan layak untuk didukung, karena guru bakal berlomba-lomba menciptakan media pengajaran yang relevan dengan kondisi peserta didik saat ini. Bila ini terwujud, pembentukan karakter berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik akan tercipta dengan sendirinya.
Karena dalam teori belajar modelling yang didengungkan Albert Bandura sangat berperan dalam pendidikan karakter. Yaitu, teori belajar yang dilakukan melalui proses pengamatan dari tingkah laku orang lain lalu dilakukan peniruan atau imitasi. Bila guru menampilkan dirinya sebagai guru yang bertanggungjawab terhadap sertifikasi yang dimilikinya melalui kemampuannya mengajar dan membuat media pengajaran sendiri, maka siswa pun akan bertanggungjawab dalam melakukan tugasnya dengan mandiri. Bukan itu saja, peserta didik pun bakal ada yang mencontoh atau meniru kekreatifan gurunya. Bila ini terjadi, pendidikan karakter yang ingin ditanamkan bakal terealisasi.
Makanya, wacana penghapusan tunjangan sertifikasi guru lalu diganti dengan tunjangan profesi guru yang dinilai dari sisi kompetensi dan kemampuan (skill) guru dalam membuat media pengajaran sehingga memudahkan siswa dalam proses pentransferan ilmu, sangat layak untuk didukung. Bila pun guru tak mampu membuat media pembelajaran, paling tidak guru mampu memanfaatkan media-media pembelajaran yang ada.
Guru tidak lagi sibuk dengan cara mengajarnya yang lama dan cenderung membosankan, tapi mampu mengajar dengan cara yang relevan dengan peserta didik saat ini dan tentu saja menyenangkan.
Bila pemberian tunjangan profesi guru dinilai dari sisi kompetensi dan kemampuannya, maka bakal banyak guru yang ‘lahir’ seperti kata Banathy, bahwa guru yang muncul bukan hanya “doing more of the same” ataupun “doing it better of the same”, melainkan “doing it differently”. (Banathy, 1991 dalam Miarso, 2005: 63)
Perkataan Banathy tersebut bila ditarik dari kurikulum atau ikrar pendidikan karakter, akan melahirkan guru yang mengajarkan karakter cinta ilmu, kerja keras, percaya diri, ingin tahu, cerdas, respek, berani mengambil resiko, dan berorientasi tindakan kepada peserta didiknya. Pasalnya, guru tersebut telah mencontohkan pada dirinya sehingga ditiru atau dijadikan model oleh peserta didik.
Jelas, inilah pendidikan karakter yang diajarkan guru melalui tindakan yang dilakukannya. Bentuk guru seperti inilah yang layak diberi tunjangan profesi, karena ia telah menghabiskan waktu dan biaya untuk menghasilkan media atau metode yang digunakannya dalam proses pentransferan ilmu agar lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh peserta didik.
Kini, kita tinggal menunggu, apakah pendidikan karakter yang sedang diproklamasikan di negeri ini bisa terealisasi dengan baik atau tidak pasca terpilihnya Anies Baswedan? Mungkinkah dengan terpilihnya Anies Baswedan akan memunculkan pendidikan karakter yang melahirkan tenaga pendidik atau guru yang benar-benar profesional, bukan sekedar tersertifikat? Sebagai pendiri gerakan turun tangan, Anis Baswedan pasti memahami bahwa masa depan negeri ini berada di tangan tenaga pendidik saat ini yang kreatif, inovatif dan berkarakter.***
Penulis adalah Guru di MTs Muallimin UNIVA Medan dan Pernah Sekolah di Pascasarjana UNIMED Prodi Teknologi Pendidikan.
No comments:
Post a Comment