Label Sekolah Internasional Dihapus
JAKARTA - Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menaturalisasi seluruh sekolah
dan lembaga kursus yang berlabel internasional atau dikuasai pemodal
asing.
Seluruhnya saat ini menjadi Lembaga
Pendidikan Indonesia (LPI). Jika ingin mempertahankan status
"internasional", mereka wajib berstatus sebagai SPK (satuan pendidikan
kerja sama).
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia
Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi
seperti yang dikutip cahbrebes2010.blogspot.com dari JPNN 24/5/2014 menuturkan, aturan baru itu tertuang dalam Permendikbud 31/2014.
"Berlaku mulai dari jenjang pendidikan
anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi. Selain itu, untuk
lembaga kursus," katanya kemarin (23/5).
Sesuai dengan kewenangannya, pejabat
yang akrab disapa Reni itu mencontohkan, saat ini ada 44 sekolah
internasional yang menyelenggarakan PAUD.
Dia menuturkan, seluruh sekolah
internasional tersebut sudah menanggalkan status keinternasionalannya.
Sesuai dengan Permendikbud 31/2014 itu, 44 sekolah internasional tadi
berubah menjadi LPI.
"Kalau ingin kembali menjadi sekolah
internasional, yang sekarang namanya SPK. Ada aturan mainnya," tutur
guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu.
Aturan tersebut, antara lain, LPI tadi harus memiliki akreditasi A. Sayangnya, hingga saat ini sangat sedikit sekolah internasional penyelenggara PAUD yang memiliki akreditasi. "Tidak sampai lima sekolah," ungkapnya.
Aturan tersebut, antara lain, LPI tadi harus memiliki akreditasi A. Sayangnya, hingga saat ini sangat sedikit sekolah internasional penyelenggara PAUD yang memiliki akreditasi. "Tidak sampai lima sekolah," ungkapnya.
Untuk itu, Reni berharap sekolah-sekolah
LPI tersebut segera mengurus akreditasi ke Badan Akreditasi Nasional
Pendidikan Nonformal (BAN-PNF) dan berusaha mendapat akreditasi A.
Persyaratan berikutnya adalah sekolah
LPI yang sudah terakreditasi A itu harus menjalin kerja sama dengan
sekolah asing yang diakui di negara masing-masing. "Kalau jenjang TK, ya
harus kerja sama dengan sekolah TK di luar negeri. Begitu juga jenjang
di atasnya," papar Reni.
Aturan lainnya terkait dengan pendidik.
Aturan rekrutmen pendidik di sekolah internasional yang diubah
sebutannya menjadi SPK itu sangat ketat.
Di antaranya, wajib bergelar akademis
sarjana terkait dengan jenjang pendidikan yang akan diajar. Selain itu,
tenaga pendidik asing harus menguasai bahasa Indonesia dan mengantongi
izin dari Kemenakertrans.
"Tidak boleh lagi asal comot. Banyak
sekolah dan lembaga kursus internasional yang hanya menggaet turis untuk
jadi guru. Ini tidak boleh," papar dia.
Reni menegaskan, selama ini banyak tutor di lembaga kursus asing yang ternyata hanya berstatus pelancong di Indonesia.
Aturan berikutnya terkait dengan
sumber-sumber pendanaan. Dalam Permendikbud 31/2014 itu, modal dari
asing hanya dibatasi maksimal 49 persen.
Saat ini Reni mengakui, banyak sekolah
atau lembaga kursus yang 100 persen modal atau sahamnya dimiliki orang
asing. Upaya tersebut dilakukan supaya invasi lembaga pendidikan asing
tidak merugikan masyarakat Indonesia.
Reni mengatakan, aturan pengetatan
sekolah internasional tersebut ditenggat hingga 1 Desember 2014. Bagi
lembaga yang sudah mendapat izin, mereka akan beroperasi dengan status
SPK.
Sementara itu, yang gagal mendapat izin
SPK berstatus sekolah lokal, sama dengan sekolah-sekolah pribumi di
Indonesia, atau ditutup.
Reni juga menyampaikan perkembangan
penanganan kasus kejahatan seksual dan pelanggaran administrasi di TK
Jakarta International School (JIS). "Informasinya, Senin pekan depan
mulai sidang. Kemendikbud juga menjadi tergugat II selain JIS. Kita
sudah siap," tegasnya.
Reni mengatakan, keluarga korban
kejahatan di TK JIS menggugat TK JIS dan Kemendikbud. Kemendikbud
digugat karena dinilai lalai dalam membina TK JIS.
Reni menuturkan, ketika membuka kasus TK
JIS tersebut kepada publik, sudah siap dengan konsekuensi dicap
mengabaikan pembinaan lembaga internasional di Indonesia.
No comments:
Post a Comment