Gugatan
tentang pernikahan dengan rekan satu kantor yang diajukan 8 karyawan yakni
Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto,
Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih yang diajukan ke Mahkamah
Konstitusi telah dikabulkan.
Dalam berkas nomor perkara 13/PUU-XV/2017 delapan
pegawai Perusahaan Listrik Negara (PLN) mempermasalahkan pasal yang mengatur
soal larangan menikah dengan teman sekantor yang biasa diatur perusahaan.
Menurut mereka, frasa "kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja
bersama" menjadi celah bagi perusahaan untuk melarang
pegawainya menikah dengan kawan sekantornya.
Kedelapan orang itu meminta agar
Pasal 153 ayat 1 huruf f UU Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatalkan
sepanjang frasa 'kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama'. Pasal tersebut mengatur soal larangan menikah dengan teman
sekantor yang biasa diatur perusahaan.
Aturan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 27
Ayat 2, Pasal 28 Ayat 1, Pasal 28C Ayat 1, Pasal 28D Ayat 2 UUD 1945.
Oleh karena itu, pemohon meminta MK agar frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan,
atau perjanjian kerja bersama" dihapuskan.
Dalam sidang di gedung MK, Jl Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (14/12/2017) Ketua MK Arief
Hidayat,memutuskan "Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon
untuk seluruhnya". MK memperbolehkan pernikahan antar-rekan satu kantor
karena itu sesuai konstitusi dan hak manusia yang hakiki.
Dalam
pertimbangan putusannya, MK menyatakan bahwa suatu perusahaan tidak bisa
menjadikan ikatan perkawinan antara pekerja atau buruh dalam satu perusahaan
sebagai dasar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mahkamah menilai, aturan tersebut tidak sejalan dengan
norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU
39/1999 dan Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya).
"Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah
takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu,
menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan
pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk
membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara
konstitusional," ujar Hakim Konstitusi Aswanto, dalam sidang pleno di
Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
Dikutip dari kompas.com dan detik.com 14/12/2017.
Baca juga: PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
Baca juga: PUISI LAMA DAN PUISI BARU
Baca juga: TEORI-TEORI PEMBELAJARAN
Baca juga: DOWNLOAD PROTA REVISI KELAS 5 SD
Baca juga: Download Contoh RPP REVISI 2017
Baca juga : DOWNLOAD RPP KELAS 5 SD/MI REVISI 2017
Baca juga: CEK NUPTK